HAM: INSPIRASI PENDEKATAN RAMAH ANAK
- Selasa, 25 April 2023
- Administrator
- 0 komentar
1. Pengantar
Sebuah adagium kuno, berbunyi begini: “Sayang anak, benci rotan. Di ujung rotan ada emas.” Ungkapan ini, melegalkan tindakan otoriter para orangtua dan guru. Itulah alasannya, keluarga dan sekolah “tempo doeloe” mentradisikan cara didik anak dengan rotan. Demi “emas di ujung rotan”, maka terjadilah tindakan keras berlebihan terhadap anak. Eksesnya, metode KBM pada satuan pendidikan lebih mirip ruang pengadilan. Efek psikologisnya, jiwa anak jadi kerdil, serba canggung dan gugup. Inisiatif pribadi jadi lumpuh, serba takut salah untuk buat sesuatu, ragu mengekspresikan potensi diri secara bebas, dan tak berani bereksperimen untuk mengeksplorasi pikiran kreatifnya.
Gejala umum di atas, dinilai menginjak martabat manusia. Mengabaikan hak-hak dasar dan kebebasan yang dijamin oleh piagam Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia). Sementara itu, gerakan advokasi para aktivis HAM global semakin masif. Berbagai monumen didirikan di pusat-pusat kota di dunia, berisi nilai-nilai filosofi universal yang mengkampanyekan prinsip keterbukaan, kebebasan, keadilan, kesetaraan dan persamaan hak. Intinya, membangunkan kesadaran kelompok sosial, keluarga, pemerintah dan lembaga keagamaan, untuk menyadari kian pentingnya penghargaan terhadap nilai harkat-martabat manusia sebagai Citra Allah (Imago Dei).
2. Sejarah Lahirnya Hak Asasi Manusia
- Pasang surut Perjuangan HAM
Perjuangan hak asasi manusia telah melewati rentangan sejarah cukup panjang. Bermula pada abad ke 13, jaminan perlindungan hak asasi manusia dimulai dari dunia Barat (Eropa). Di Inggris, sejak 1215, dengan ditandatanganinya piagam Magna Charta oleh raja John Lackland. Piagam ini dianggap sebagai usaha pertama, walaupun hanya terbatas pada upaya melindungi hak kaum bangsawan dan hirarki gereja.
Mengutip sejarawan Inggris, Lord Acton, yang mempersoalkan prilaku penguasa, Affandi dan Suryadi, menjelaskan sorotan Acton tentang kekuasaan monarki yang absolut, cenderung menyalahgunakan kekuasaan, korup dan tak terbatas. Dalil Acton, mengilhami penegakan demokrasi dan sistem politik konstitusional, dimana kekuasaan harus dibatasi dan dicantumkan dalam konstitusi. Efek perjuangan rakyat Inggris, berimbas pada kesadaran demokrasi politik rakyat Prancis. Usaha perlindungan hak asasi manusia di Prancis, lahir dari revolusi yang bertujuan meruntuhkan sistem pemerintahan absolut dan menggantikannya dengan tatanan pemerintahan baru yang demokratis.
Mengikuti upaya Inggris dan Prancis, rakyat Amerika ikut tergerak untuk memperjuangkan hak asasi manusia. Pemikiran John Locke tersirat dalam kandungan Declaration of Independence Amerika Serikat, yang disetujui Congres dan diwakili 13 negara bagian, pada 4 Juli 1776. Pada Deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat termuat pengakuan, bahwa manusia diciptakan Tuhan dengan harkat dan martabat yang sama, memiliki sejumlah hak yang melekat secara kodrati, seperti: hak hidup (life), kebebasan (liberty), dan hak untuk mengejar kebahagiaan (pursuit of happiness). Perlindungan hak asasi di Amerika mirip dengan apa yang dialami bangsa Prancis, yang lahir melalui revolusi pada tahun 1789. Di tahun yang sama, Amerika mengumumkan Undang-Undang Hak (Bill of Rights), yang kemudian menjadi UUD Amerika yang disahkan pada tahun 1791.
Prinsip HAM, diteriakkan sangat keras pada revolusi Perancis, 5 Mei 1789 – 9 November 1799, yang dikenal dengan slogan “liberte, egalite, dan fraternite.” Yang berarti; kebebasan, keadilan, dan persaudaraan. Slogan ini, kemudian jadi cikal bakal terciptanya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang diumumkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada 10 Desember 1948, di Paris-Prancis.
- Konstitusionalisasi UU HAM Dalam Negara RI
Di Indonesia, sudah sejak awal proklamasi kemerdekaan, dengan tegas dinyatakan dalam pembukaan UUD 1945, alinea pertama, “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan.” Pernyataan kemerdekaan RI, melahirkan UU no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dirumuskan sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjungtinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Tentang perlindungan anak, dijabarkan lagi dalam UU no. 23 tahun 2002. Pada pasal 4, ditegaskan demikian, bahwa anak memiliki hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta terhindarkan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pengakuan hak asasi manusia lahir dari keyakinan, bahwa semua umat manusia dilahirkan bebas dan memiliki martabat dan hak-hak yang sama. Umat manusia pun dikaruniai akal budi dan hati nurani, sehingga harus memperlakukan satu sama lain secara baik dan beradab dalam suasana persaudaraan. Sejumlah hak yang diakui secara universal sebagai hak asasi manusia, menurut Affandi dan Suryadi, antara lain: hak atas hidup, kebebasan dan keamanan. Tak seorangpun boleh diperbudak, atau diperdagangkan, dikenakan siksaan atau perlakuan tak berperikemanusiaan atau merendahkan martabat manusia. Setiap orangpun memiliki hak untuk tidak dikenakan penangkapan, penahanan dan pembuangan sewenang-wenang, dan berhak sepenuhnya untuk didengar secara adil dan terbuka oleh sebuah mahkamah yang bebas dan tidak memihak. “Hak asasi manusia yang dimaksud, tanpa memandang perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, bahasa, pendapat politik, asal suku, kebangsaan atau status sosial, harta, kelahiran atau latar belakang lainnya”, demikian penjelasan Affandi dan Suryadi.
- Implementasi HAM Dalam Berbagai Pendekatan
Dari fakta sejarah lahirnya kontitusionalisasi UU HAM, memberi inspirasi baru terhadap aksi perjuangan hak-hak sipil. Terutama gerakan perlindungan terhadap perempuan dan anak dari berbagai kasus eksploitasi dan pelecehan seksual. Berlanjut dengan tuntutan para korban Kasus KDRT yang kadang berbuntut perceraian dan penelantaran anak. Bermunculan juga gerakan feminisme yang memperjuangkan kesetaraan gender dan menolak dominasi laki-laki (patriarki). Merebak pula resistensi terhadap perdagangan manusia (human trafficking) dan eksploitasi bagi pekerja anak di bawah umur.
Perjuangan para pegiat HAM, akhirnya menginspirasi terciptanya pendekatan humanis di berbagai lembaga di Indonesia. Terutama di lembaga pendidikan, aksi protes dan penegakan hukum pernah digelar ketika terjadi kasus kekerasan, pelecehan seksual, bullyng dan perundungan pada satuan pendidikan di sekolah-sekolah. Fenomena inilah yang mendorong sekolah-sekolah menerapkan program belajar yang ramah anak.
- Kiat Menciptakan Iklim Ramah Anak di Sekolah
Sekolah adalah ruang terbuka yang melibatkan anak untuk berpartisipasi secara penuh dalam segala kegiatan, kehidupan sosial, serta mendorong tumbuh-kembangnya motivasi belajar. Sekolah jadi tempat penemuan identitas diri yang menyenangkan untuk bebas beraktualisasi dan beradaptasi dengan kedisiplinan serta lingkungan belajar. Karakter disiplin yang dimaksud, adalah disiplin yang dewasa dan mandiri, dapat memerdekakan si anak dari tekanan verbal, beban mental dan kekerasan fisik, sbb:
Pertama, Upaya Penyadaran yang terus-menerus. Guru selaku fasilitator, secara intens memberikan penyadaran (konsientisasi) guna memahami hakikat disiplin. Arti disiplin sesungguhnya adalah “belajar” (Latin: discere), bukan aturan. Bukan karena diawasi, bukan karena sistem kontrol ketat, bukan untuk mendapat nilai akademis atau demi pujian semata. Tetapi kesadaran untuk belajar membentuk sikap-mental. Karakter! Bagaimana membangkitkan niat, motivasi dan kesadaran diri. Bisa mengatur diri. Membentuk jiwa mulia, jiwa yang selalu gembira melakukan sesuatu, karena yang dikerjakan itu benar, baik, dan bermanfaat. Juga menumbuhkan rasa malu. Sungguh hal memalukan, bila ditegur, dimarahi, dipecut dengan cemeti, baru bergerak. Sangat memalukan, bila melakukan tugas hanya karena membeo pada aturan semata, sama halnya dengan perendahan martabat diri ke tingkat hewan. Manusia (siswa) harus memiliki tingkat kesadaran yang melampaui aturan.
Misalnya, siswa memiliki kesadaran untuk selalu rapi, tepat waktu, setia mengerjakan soal, tidak membolos, tidak bandel atau membangkang, ikut bimbingan guru; tentu tak ada satupun guru yang marah padanya. Dapat dipastikan, situasi batinnya sangat gembira, tanpa beban tekanan. Dalam suasana batin yang bebas dari tekanan, siswa itu akan memiliki ketenangan belajar. Jiwa yang stabil pasti fokus pada tujuan, mandiri dan bertanggungjawab. Beginilah karakter yang perlu dibentuk dan ditanamkan di sekolah.
Namun sebaliknya, walaupun tingkat kesadaran diri sudah melampaui aturan, siswa masih perlu diarahkan agar mampu beradaptasi dengan tempat, waktu, situasi dan orang lain. Mengikuti aturan umum dengan tertib sangat penting, demi kebersamaan dengan orang lain. Demi hidup bersama dalam perbedaan, maka diperlukan adanya tertib hukum. Inilah alasan yang melahirkan Undang-undang, peraturan, kesepakatan bersama, perjanjian kerja sama, atau kebijakan-kebijakan komunitas, lembaga atau masyarakat. Baik hukum adat, hukum formal, maupun hukum moral-agama, demi menjamin keadilan dan keamanan hidup bersama atau bernegara.
Kedua, ciptakan keakraban. Peran fasilitator bersifat suportif, partisipatif, emansipatoris dan dialogal. Itu berarti, peserta didik diperlakukan sebagai teman belajar, teman diskusi dalam mengekspresikan bakat dan minatnya. Memperlakukan peserta didik sebagai “teman belajar,” mengandaikan guru menghargai hak-hak siswa untuk didengarkan pendapatnya, membiarkannya tumbuh, berkembang dan bertanggungjawab. Siswa tidak canggung untuk bertanya, berdiskusi, bereksperimen, mengeksplorasi pikiran, berinovasi, mewawancarai guru sebagai teman belajar. Aksentuasi penanganan kasus kenakalan, bukan pada sanksi hukum demi efek jera; tetapi bersama siswa sendiri, guru dan orangtua berupaya menemukan akar masalah, cari solusi, dan temukan jalan keluar yang tepat untuk berubah.
3. Penutup
Dalam konteks implementasi kurikulum merdeka yang menjalankan program merdeka belajar dan belajar mandiri, sekolah penggerak, guru penggerak dan (mungkin juga: siswa penggerak), memiliki peran penting dalam menumbuhkan motivasi belajar yang ramah anak. Penelitian Tindakan Kelas (PTK), menjadi landasan utama dalam memahami peta potensi sekolah, seperti: bakat-minat guru dan siswa; lingkungan belajar, sarana dan prasarana pendukung, sistem manajemen dan strategi pendekatan, dalam merealisasikan program ramah anak. (***)
Penulis : Kristian Anggur